Minggu, 16 Agustus 2009
Langganan:
Postingan (Atom)
One Man One Love One Love
BUKU BIOGRAPHY BOB MARLEY
Bob Marley, Sang Pemantra Rasta Kalau Jah (Tuhan) tidak memberiku lagu untuk aku nyanyikan, maka tak akan ada lagu yang bisa aku nyanyikan. (Bob Marley, mati dari bumi 11 Mei 1981) Gedung London Lyceum malam musim panas tahun 1975. Tanggalnya 18 dan 19 Juli. Konon di dua malam inilah Robert Nesta Marley, atau Bob Marley, tuntas memenuhi suratan nasibnya; menasbihkan dirinya sendiri menjadi pengkhotbah untuk kaumnya, kaum Rastafarian.
Benar bahwa sejak sekitar akhir tahun 60an Bob Marley telah menjadi salah satu pengkhotbah paling fanatik kaum Rastafarian. Tetapi dua malam di gedung pertunjukan tua Inggris itu Bob Marley mencapai kesempurnaan yang hanya bisa diimpikan oleh banyak pemusik besar dunia, siapapun ia. Bob Marley mencapai titik ekstase transendental di atas panggung. Panggung, bagi pemusik, adalah altar untuk mencari ekstase transendental yang tak bisa mereka dapatkan di dunia yang materialistik. Pengganti altar gereja, saf-saf masjid, teras-teras candi atau apapun namanya tempat bagi diberlangsungkannya upacara keagamaan. Tak banyak pemusik besar dunia yang bisa sampai ke taraf itu, dan juga tidak setiap kali naik ke panggung efek itu akan tercapai. Dua malam itu Bob Marley menyentuh impian yang selalu didambakan setiap pemusik. Ia kesurupan dengan energi yang sepertinya tak akan habis, membuang tubuhnya ke kiri dan kekanan, berputar-putar layaknya seorang sufi yang sedang mendendangkan lagu pujaan kepada tuhan, ia mampu menyebarkan vibrasi ekstasenya ke seluruh orang yang ada di dalam gedung. Seorang saksi mata pertunjukkan mengaku kalau malam itu Bob Marley memerintahkan mereka untuk membakar kota London, ia sangat yakin mereka akan membakarnya.
Bagi Bob Marley --yang tidak sekedar menganggap panggung pertunjukkan sebagai pengganti altar upacara keagamaan, tetapi adalah altar kegamaan itu sendiri-- dua malam di Lyceum London sangatlah berarti. Pada dua malam itu anggapan kaum Rastafarian bahwa ia memang seorang pendeta --dukun atau shaman-- terteguhkan, sesuatu hal yang ia sendiri sebenarnya sudah meyakininya sejak lama.
Janganlah Menangis Perempuan
Bob Marley tercatat berulangkali mengatakan pertunjukkannya sebagai upacara keagamaan untuk meningkatkan kesadaran akan kehidupan. Versi rekaman live salah satu lagu yang dinyanyikan dua malam itu, No Woman, No Cry, menjadi hit dunia. Rekamannya sendiri tidaklah sempurna sekali, tetapi intensitas vibrasi lagu itu menusuk setiap orang yang mendengarkannya. Lagu itu berkisah tentang seorang laki-laki (Bob Marley) yang berpisah dengan kekasihnya karena akan pergi memperjuangkan kebenaran di dunia. Judulnya No Woman, No Cry seolah mengatakan kalau tak ada perempuan maka tak akan ada tangis di dunia. Padahal Bob Marley menggunakan Bahasa Inggris Jamaika yang berarti Don't Woman, Don't Cry ; "janganlah engkau (perempuan) menangis." Menangisi sang kekasih yang pergi untuk memperjuangkan kebenaran.
Bob Marley juga yakin benar bahwa banyak lagu-lagu yang ia ciptakan adalah nujum akan masa depan yang selalu terbukti kebenarannya. Ia hampir mati terbunuh tahun 1973 oleh seorang yang masuk ke rumahnya --beberapa saat sebelumnya ia mengarang lagu Ambush in The Night yang sepertinya menceritakan kejadian itu. Ia merasa menjadi shaman yang harus terus mengingatkan manusia bahwa kebinasaan adalah niscaya dan tak lagi jauh dari mata. Ramalannya sendiri tentang kematian pada usia 36 tahun, setelah terlebih dahulu menikmati puncak kejayaannya selama tiga tahun sebagai pemusik -- entah mungkin karena ia sudah tahu terkena kanker ganas yang tak tersembuhkan -- terbukti benar.
Pada awalnya alasan ketertarikan Bob Marley pada musik sama dengan anak muda umumnya: menjadi populer dan keluar dari kemiskinan. Bapaknya seorang marinir Inggris --kulit putih-- meninggalkan ibunya --kulit hitam-- sejak Bob Marley kecil. Musiknya sangat beragam dan belajar dengan sangat rakus. Ia sangat mengenal melodi dan ritme jazz yang rumit tetapi ekspresif. Penggemar berat rock, terutama dari Fat Domino, Elvis Presley dan Ricky Nelson. Ia juga dikenal sebagai penggemar musik-musik Soul. Ia bahkan diketahui mengikuti dengan dekat Nat King Cole, yang dianggap berJazz dengan selera kaum kulit putih. Tetapi dari itu semua, kecintaan utamanya adalah pada jenis musik tradisonal Jamaika: ska, jenis musik yang dimaklumi sebagai ibu dari musik reggae. Karena berbagai pengaruh aliran musik yang ada pada Bob Marley inilah, jenis musik reggae yang keluar dari tangan Bob Marley sangat eksplosiv dan berciri khas lain dibandingkan reggae yang sebelumnya ada.
Ketika pada akhir tahun 60an Bob Marley membentuk kelompok musiknya The Wailers --Sang Perintih-- bersama beberapa teman dekatnya.